Kamis, 14 Juli 2016

Memahami Pentingnya Mursyid dalam Tarekat I

Allah Swt. Berfirman: “Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalam hidupnya) seorang wali yang mursyid” (Qs. Al-Kahfi: 17).
Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.
Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka. Tetapi dalam praktek sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid.
Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah “dunia ilmu”, yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang diserap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan ma’rifat itu sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar